- Analogi dalam kamus besar bahasa indonesia diartikan sebagai: Persamaan atau persesuaian antara dua benda atau hal yang berlainan.
- Menganalogikan diartikan sebagai: Membuat sesuatu yang baru berdasarkan contoh yang sudah ada atau mereka-reka bentuk kata baru dengan mencontoh bentuk yang telah ada.
Penerapan analogi didalam hukum menurut Hazewinkel-Suringa bersifat relatif, hal ini sungguh benar karena kita dapat melihat penerapan analogi dibeberapa negara demokratis tidak berbahaya bagi hak asasi manusia, sebaliknya penerapan analogi di negara-negara totaliter dipandang sangat berbahaya, karena penguasa dapat menafsirkan hukum dan berpotensi melanggar hak asasi manusia.
Kadang-kadang pembuat Undang-Undang sendiri yang menciptakan analogi, misalnya;
- Didalam Pasal 281 KUHP tentang "Melanggar Kesusilaan" (Apa yang dimaksud melanggar kesusilaan tidak dijelaskan secara jelas).
- Kemudian didalam UU Lingkunngan Hidup memuat rumusan delik (perbuatan pidana) "Barang Siapa Merusak Lingkungan Hidup di Ancam Pidana". (Pertanyaannya apa yang termasuk "merusak lingkungan hidup")
Ini menunjukkan pada dasarnya rumusan Pasal dalam UU terkadang kurang jelas (tidak ada kepastian), sehingga semua tergantung PENAFSIRAN Hakim, namun apa jadinya jika PENAFSIRAN dilakukan oleh Hakim yang tidak NETRAL ?
Pernah di Jerman Nazi Analogi dalam arti luas di terapkan (dapat dibaca dalam UU Jerman 28 Juni 1935), ketentuan analoginya berbunyi sebagai berikut:
- Seseorang dapat dipidana jika: Perbuatan diancam oleh UU dan menurut Perasaan sehat masyarakat.
Jika ini diterapkan didalam sistem hukum saat ini, maka bagaimana cara mengetahui perasaan sehat dari masyarakat ? (Sedangkan telah diketahui bahwa pendapat setiap orang tentang suatu objek atau hal selalu tidak sama, jadi tidak ada satu kesimpulan yang dapat diterima oleh masyarakat).
Jadi, analogi yang diizinkan adalah:
Jika analogi tersebut memiliki dasar peraturan yang sama atau tidak menyimpang dengan dasar pasal yang dituduhkan, dan analogi tersebut dilakukan untuk memenuhi rasa keadilan didalam masyarakat.
Contoh:
Intepretasi "barang" yang tercantum dalam delik pencurian disamakan dengan "aliran listrik" (menurut Arrest Hoge Raad tanggal 23 Mei 1921, W. 10728, N.J. 1921, 564).
Menurut Emanuel c.n.z dalam kasus ini analoginya tidak dilarang karena:
- Deliknya tetap yaitu "Pencurian" hanya saja makna "barang" yang di perluas/dipersamakan dengan "aliran listrik".
- Adanya Unsur kesalahan (yaitu pelaku mengambil sesuatu yang bukan HAKnya.)
- Perbuatan tersebut menurut akal sehat tidak dibenarkan dan didalam kehidupan masyarakat perbuatan tersebut tidak diterima).
- Adanya Hak yang dirugikan tanpa kesepakatan.
- Adanya Niat Jahat dalam perbuatan.
Jadi, analogi yang bagaimana yang dilarang:
Pendapat VOS : Analogi yang dilarang apabila Hakim menciptakan kaidah hukum baru.
Contoh:
Putusan Hakim yang menyamakan pesetubuhan bujang dengan gadis sebagai "pencurian" (pencurian mahkota sigadis). Hakim menganggap kegadisan sama dengan "barang" sebagaimana yang dirumuskan dalam KUHP yaitu segala sesuatu yang mengandung nilai ekonomi.
Hal ini tidak dibenarkan karena:
- Tidak ada unsur melawan hukum,
- Tidak ada unsur kesalahan (karena suka sama suka).
- Dasar hukum yang dipersamakan tidak ada. (Pasal pencurian tidak bisa digunakan karena, perbuatan persetubuhan terjadi karena adanya kesepakatan kedua pihak sedangkan pencurian terjadi karena tidak adanya kesepakatan antara pihak).
Persetubuhan suka sama suka memang belum ada dasar hukumnya, kecuali menyangkut anak dibawah umur dan perzinahan karena telah ada dasar hukum yang mengaturnya.
Ada pertanyaan mengenai kasus Rafi Ahmat kepada saya, mengapa tidak diterapkan analogi ?
Saya mencoba menjawab:
Dalam kasus Rafi Ahmad yang menggunakan zat cathinone (katinon) merupakan senyawa yang dihasilkan dari tumbuhan, dalam hal ini Rafi Ahmat tidak dapat dituntut karena zat tersebut belum dilarang oleh UU, dan apakah zat tersebut dapat dianalogikan dengan zat narkotika yang dilarang ? TIDAK DAPAT.
Karena didalam kasus ini:
- Tidak ada unsur kesalahan (mengingat asas tiada hukuman tanpa kesalahan)
- Tidak adanya unsur Melawan Hukum.
- Tidak adanya HAK yang dirugikan.
- Tidak adanya niat jahat.
Menurut hemat saya, ANALOGI hukum perlu diterapkan apabila menyangkut rasa keadilan dan perasaan masyarakat banyak. Sebab, hukum pada dasarnya diciptakan untuk memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat. Ada pandangan yang mengatakan bahwa penerapan analogi bertentangan dengan asas legalitas (ini sungguh benar), namun apabila asas legalitas mengurangi rasa keadilan dalam masyarakat, maka analogi perlu dilakukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar